Pergunjingan (Gibah)
”HAI orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang”. (Q.S. al-Hujurat/49: 12).
Ayat tersebut di atas menyatakan betapa besar bahaya pergunjingan, bukan hanya akan menimbulkan malapetaka di dunia tetapi juga sangat merugikan di akhirat. Orang yang gemar menggunjikan saudaranya diumpamakan pemakan bangkai saudaranya, suatu perbuatan menjijikkan dan memalukan.
Dalam suatu riwayat disebutkan, Allah Swt mewahyukan kepada Nabi Musa: “Barangsiapa meninggal dan sudah bertobat dari pergunjingan, maka ia masuk surga paling akhir. Barangsiapa meninggal dan tetap melakukan pergunjingan, maka ia yang paling pertama masuk neraka”.
Dalam riwayat lain dikatakan seseorang diberi buku catatan amalnya pada hari kiamat nanti, dia akan melihat dalam bukunya itu amal-amal baik yang tidak pernah ia melakukannya. Lalu dikatakan kepadanya: “Inilah hasil dari pergunjingan orang lain terhadap dirimu yang engkau sendiri tidak menyadarinya. Ini artinya orang yang sering menggunjingkan orang lain harus bersedia menyerahkan seluruh amal kebajikannya kepada orang yang pernah digunjingkan. Mereka pasti kecewa karena menunggu pahala perbuatan baiknya tetapi ternyata sudah dialihkan kepada orang lain. Yang tinggal di dalam dirinya adalah catatan pekerjaan buruk dan dosa yang mengantarnya ke dalam neraka.
Sebuah cerita yang sampai kepada al-Hasan al-Basri: “Sesungguhnya si Fulan telah menggunjingmu. Maka al-Hasan mengirim kue-kue kepada orang yang menggunjingnya itu dan menitip pesan: “Aku mendengar bahwa engkau telah melimpahkan amal-amal baikmu kepadaku. Maka aku ingin membalas kebaikanmu.”
Al-Junaid pernah mengemukakan pengalamannya: “Aku melihat seorang fakir yang kelihatan bekas ibadahnya sedang mengemis. Lalu dalam hatiku berkata: “Seandainya orang ini melakukan sesuatu perbuatan yang menjaga kehormatannya itu lebih baik baginya. Ketika aku pulang ke rumahku dan melakukan wirid, terasa berat bagiku melakukannya hingga aku tidur. Lalu aku melihat dalam mimpi si fakir itu didatangkan dan diletakkan di atas meja makan, dan dikatakan kepadaku: “Makanlah daging orang ini, sesungguhnya engkau telah menggunjingnya. Aku berkata: “Aku hanya berkata dalam hatiku.” Lalu dikatakan kepadaku: “Perbuatanmu seperti itu tidak layak, pergilah kepada orang itu dan minta maaflah. Ketika pagi harinya aku pergi dan tidak pernah berhenti mencarinya hingga aku menemukannya di suatu tempat ia sedang memungut dedaunan yang tersisa dalam air yang digunakan untuk mencuci sayuran. Aku memberi salam kepadanya, dan ia menjawabku: “Wahai Abul Qasim, apakah engkau kembali ke sini lagi?” Aku menjawab: “Tidak.” Orang itu menjawab: “Semoga Allah mengampuni kami dan engkau.”
Orang-orang yang dekat dengan Tuhan dan sadar akan adanya hari pembalasan, ia akan sangat takut menggunjingkan aib orang lain. Pengalaman sehari-hari kita lihat di dalam masyarakat, bahkan menggunakan media terbuka yang dapat diakses jutaan pemirsa, di situ aib orang dipergunjingkan. Orang yang memperoleh rezeki dengan cara menggunjingkan orang lain maka rezeki itu tidak halal baginya. Bisa dibayangkan betapa besar dosa bagi orang yang melakukannya. Istigfarlah. [Oleh: Ahmad Imam Mawardi/inilah.com]…
Tidak ada komentar: