“Istri Taat Suami” itu Konsep Beradab
Konsep “istri taat pada suami” saat ini banyak ditentang oleh sebagian perempuan, termasuk di kalangan Muslimah. Konsep itu dianggap bertentangan dengan ide “kesetaraan gender”. Bahkan, ada yang menyebut, kata yang paling dibenci di kalangan aktivis kesetaraan gender sekuler adalah kata “taat pada suami”.
Padahal, konsep itu unik, mulia, dan sesuai dengan fitrah manusia. Konsep itu berasal dari wahyu yang disampaikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam.
Dalam sebuah seminar bertema “Manusia Beradab dan Moderniti Alternatif”, pakar pemikiran Islam Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud mengungkap pengalaman sewaktu bebicara dalam sebuah seminar di Afrika Selatan, beberapa tahun lalu.
Usai seminar, paparnya, seorang perempuan berkerudung mendatanginya dan menanyakan, bagaimana mungkin ia harus mentaati suaminya, sementara di kantor, ia memimpin 300 laki-laki?
Prof. Wan menjelaskan, bahwa konsep adab dalam Islam, di antaranya memang menempatkan suami sebagai kepala keluarga.
Tentu saja, tambahnya, suami tidak boleh berlaku zalim dengan amanah yang diterimanya serta bertindak sewenang-wenang terhadap istrinya. Suami yang bijakakan memahami bahwa istrinya adalah seorang perempuan yang hebat.
“Karena itu, pilihlah suami yang hebat pula,” kata Profesor yang juga beristrikan seorang profesor ini.
Dalam seminar yang diselenggarakan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia diselenggarakan hari Kamis (18/09/2014) tersebut, dijelaskannya tentang makna konsep manusia beradab (insan adaby) yang sepatutnya diwujudkan dalam masyarakat muslim. Konsep ini telah lama dikenal oleh para ulama dan disistematisasikan oleh Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas sejak awal tahun 1970-an, melalui bukunya Risalah untuk Kaum Muslimin dan Islam and Secularism.
Prof Wan Mohd Nor menekankan, bahwa Islam tidak bersikap “anti-pati” terhadap peradaban lain. Sejarah Islam kaya dengan contoh-contoh, bagaimana para ulama dan ilmuwan Muslim bisa menerima ilmu pengetahuan yang datang dari peradaban lain, seperti yang berasal dari peradaban Yunani, India, dan sebagainya.
Tetapi, lanjutnya, Islam juga memiliki konsep-konsep sendiri yang sepatutnya juga dihormati oleh peradaban (tamaddun) yang lain.
“Setiap agama, bangsa, atau peradaban memiliki the limit of tolerance, batasto leransi,” ujar Direktur Center for Advanced Studies on Islam Science and Civilization – UniversitiTeknologi Malaysia (Casis-UTM) ini.
Dicontohkannya, bangsa atau peradaban yang memandang agama tidak penting, maka m ereka akan memberikan toleransi besar dalam soal agama. Apakah orang beragama, atau merusak agama, tidak dipandang penting. Agama apa saja, aliran apa saja, dianggap sama kedudukannya. Bagi mereka, berganti-ganti agama pun tidak menjadi masalah, sebab agama dipandang bukan masalah penting. Tetapi, ada Negara Eropa, yang tidak mentolerir penggunaan bahasa selain bahasa negaranya. Ia bertoleransi terhadap agama, tetapi tidak bertoleransi terhadap bahasa.
“Maka, manusia beradab dalam Islam adalah yang berpegang teguh kepada imannya, dan tidak menyekutukan Tuhan,” ujarnya.
Ia mengkritik pendapat sebagian pakar di Barat yang menganggap politeisme lebih toleran dibandingkan monoteisme. Sebab, kata mereka, monoteisme hanya mentoleransi satu Tuhan; sedangkan politeisme mentoleransi banyak Tuhan. Pada saat yang sama, ia juga mengkritik sikap ekstrim (melampau) dalam beragama yang menyebabkan perpecahan di tengah umat.
Dalam seminar tersebut, Prof Wan juga memaparkan kegagalan modernitas Barat yang kemudian dicoba untuk dibuat konsep “modernitas kedua” atau “modernitas alternatif”oleh beberapa pakar. Diingatkan, bahwa Islam tidak punya konsep sejarah seperti di Barat yang mengenal perkembangan sejarah dari zaman awal, pertengahan, dan modern.
Pembagian perkembangan sejarah dalam Islam hanya dua, yaitu masa jahiliyah dan masa Islam. Karena itu, jelasnya, pembentukan manusia beradab bukan dimaksudkan untuk membentuk “masyarakat modern jilid dua”, atau “masyarakat modern alternatif” atau sejenisnya.
Prof Wan Mohd Nor menggunakan istilah “dynamic stabilism” untuk menggambarkan konsep perubahan dalam Islam. Yaitu, perubahan yang masih tetap berlandaskan hal-hal yang tetap (tsawabit).
“Jadi, tidak semuanya berubah. Nilai-nilai keimanan, akhlak mulia, misalnya, tidak ikut berubah mengikuti perubahan zaman dan budaya,” ujarnya.*/Hani (Malaysia)[hidayatullah.com]…
Tidak ada komentar: